Please register or login to continue

Register Login

Gadis Danau dan Laptop Pinky

Gadis Danau dan Laptop Pinky

By Jennyervina

Spring, 2010

Tentu saja pemandangannya indah; aku tidak bisa menyangkalnya. Semua hijau: pepohonan dengan batang berbalut lumut, tanahnya yang tertutup daun yang berguguran. Bahkan udaranya tersaring diantara dedaunnya yang hijau. Jembatan kayu licin yang lembab. Azalea, Rose, Bougenville, Bouvardia, Sakura, serta bunga-bunga liar yang tertata rapi disepanjang gigir danau yang tenang. Membentengi dorm dengan segala keanggunannya.

Terlalu hijau, menjelma sebuah planet yang asing. Membuatku begitu saja memasrahkan diri dan mencoba menjadi salah satu penghuninya.

)oo(

Setengah menyeret langkah aku berjalan menapaki koridor menuju dorm yang memang letaknya berada ditengah-tengah danau. Tugas kuliah hari ini membuatku tidak peduli dengan sekitar. Aku lelah. Dan ingin secepatnya sampai ke kamar untuk segera merebahkan diri di pembaringan.

Lau Wai, teman satu kamarku, menatapku heran. Tapi ia tidak berani mengusikku dan berpura-pura berkutat dengan kesibukannya. Sedikit memutar rendah volume music yang keluar dari real playernya. Bagaimanapun, dia mencoba menghargaiku.

“Sie-sie ni…” kulemparkan senyum. Karena salah satu cara untuk menyatukan perbedaan adalah dengan berbahasa.

“Pu ke ci.” Jawabnya fasih. Dan aku beruntung bisa berada satu kamar dengannya.

Lima menit kemudian, aku tertidur. Dan dalam tidurku yang tidak sempurna itu aku bermimpi.

)oo(

“Siapa namamu?” tanyanya manja. Sembari memain-mainkan jemari dan sesekali menggigit ujung kukunya. Manis sekali.

“Yen Ting.” Dan ketika aku menyebutkan namaku, dia malah sibuk mengambil ranting kering lalu melemparkannya ke danau. Menimbulkan irama dalam tenangnya.

Membuatku seketika terjaga. Singkat sekali. Tapi aku masih bisa merekam jelas garis-garis ketimuran yang melekat pada wajah gadis itu.

Mimpiku usai…

)oo(

Aku sudah tidak melihat Lau Wai ketika terbangun. Tapi sisa-sisa makanan kecil dan halaman buku yang masih terbuka menandakan kalau dia baru saja meninggalkan kamar. Aku tidak begitu peduli. Dan melangkah begitu saja menuju kamar mandi. Untuk kemudian membasuh wajah sekedar membuatnya sedikit berseri. Segar juga rasanya.

Sedikit membuatku terkejut. Lau Wai tiba-tiba saja muncul dan meraih tanganku. Setengah menyeretku menuju jendela yang memang dibiarkan terbuka. Biar ada sirkulasi udara katanya. Meski sedikit berontak atas perlakuannya, tapi toh kuikuti juga dia punya kehendak.

“Ni ko lai I sia. Kuai I tien….!” Katanya sedikit ripuh. Dan hampir saja terjatuh karena tersangkut tali tas yang kutaruh begitu saja di lantai.

“Pai tuo…Ni siang kan sen me ma….?!” Setengah bermalas-malasan aku mengintilnya dibelakang dan mencoba melepaskan genggaman tangan Lau Wai. Bagaimanapun, aku tidak suka diperlakukan seperti anak kecil.

“Ken Wo ko lai…kuai I tien hau pu hau….!” Menyandarkan diri di daun jendela dan menatap keluar. Jauh ke sebuah pendopo di sudut danau.

Aku menyilangkan handuk kecil di bahu. Mengusapkan bagian ujungnya ke seluruh wajah. “Hayyahh…yio sen me hau kan ma?” gerutuku kesal. Tapi akhirnya mengikuti juga kemana arah pandangannya.

“Ni kan…na pien yio I ke pio liang te niu hai tze…ni ren sen tha ma…?” kali ini telunjuknya memapah pandanganku pada satu sosok gadis yang sedang duduk sendiri di kursi kayu pendopo. Dihadapannya terpajang sebuah laptop mungil berwarna pink. Sudah kupastikan, aku tidak mengenalnya.

“Kuan Tha kan sen me?” Jujur, aku sama sekali tidak tertarik. Maka begitu saja aku berlalu meninggalkan Lau Wai yang masih tertegun membisu. Menatap gadis itu.

)oo(

Sudah hampir satu semester. Tinggal di dalam kampus lebih membuatku focus mengikuti semua mata pelajaran. Setidaknya, aku bisa mengasah kemampuan berbahasaku dan mempraktekannya dengan sesama teman foreign student.

Tiada hari tanpa belajar. Semakin hari tugas semakin menggunung. Meski kadang merasa lelah, tapi toh harus kulanjutkan juga. Demi mimpi. Demi janjiku pada bumi pertiwi.

Seperti biasa selepas pulang kuliah, aku selalu menyempatkan diri singgah ke perpustakaan. Sekedar membaca koleksi novel-novel China sebagai tambahan pengetahuan, atau tak jarang kadang mencari bahan untuk presentasi. Jika pada akhirnya aku bosan, maka kupinjam dan kubawa buku-buku itu ke dalam kamar. Cukuplah empat buku dalam satu bulan.

Kedua orangtuaku yang memang masih keturunan menyuruku untuk mengambil jurusan yang sedang kugeluti sekarang. Mereka bilang, pelajarilah sesuatu yang kamu senangi dan yang kelak bisa bermanfaat bagi dirimu dan orang lain.

Maka kupilihlah sastra China. Biar aku bisa belajar banyak tentang budaya dan bahasa. Biar kelak aku bisa menulis dan bercerita pada dunia. Sudah kutunaikan janjiku dan kukejar ilmu hingga ke negeri China.

Aroma musim semi masih tercium seperti hari kemarin. Sejuk dan lembab. Dan kali ini aku memutuskan untuk duduk sejenak dibangku taman di sekitar danau. Kuputar ‘Matsuri’ dari MP3. Kupejamkan mata dan kuhela nafas perlahan. Imajiku melayang jauh ke negeri seberang. Aku rindu rumah.

Splasssh…

Wajah gadis yang kemarin ada dalam mimpiku tiba-tiba menari di pelupuk mata. Berkelabatan bagai kupu-kupu. Membuatku seketika membuka mata dan menyapukan pandang. Hanya ada aku dan beberapa mahasiswa lain yang kebetulan sedang berdiskusi di sekitar taman. Akh! Ada apa denganku? Apa barangkali karena terlalu lelah hingga akhir-akhir ini sering berhalusinasi? Entahlah….

‘Matsuri’ berganti senandung merdu ‘Caravansary’. Irama merdunya mengirngi setiap alunan langkahku menuju dorm. Kitaro selalu membuat hatiku bersiul damai.

)oo(

“Ni hue lai le?” sapa Lau Wai ketika aku baru saja membuka pintu. Lelaki asal Hongkong yang berperawakan persis seperti Andy Lau itu sepertinya sedang berkutat dengan Material for an introduction to language and linguistic. Serius sekali.

“Shi te…”jawabku singkat.

Dan apabila ada satu hal dari beberapa hal yang membuatku terus bertahan di negeri ‘Formosa’ (sebutan untuk Taiwan) ini, adalah mungkin karena sikap ramah dan sikap saling menghargai perbedaan satu sama lain. Dari sudut mata, kulihat Lau Wai menari-narikan pensilnya. Kemudian menuliskan sesuatu. Semantic. Bahan ujian minggu depan yang sudah kupelajari ketika berada di perpustakaan tadi.

Aku tidak terlalu suka berbasa-basi. Tidak juga ingin menggangu konsentrasi belajarnya. Tapi aku juga tidak merasakan kantuk. Maka kuputuskan mengambil ‘The Kite Runner’ -buku yang kupesan kepada teman yang kebetulan pulang ke tanah air, dan membacanya didepan jendela. Lagi. Kitaro selalu menjadi soundtrack terbaik disepanjang sejarah kesendirian dalam perjalananku.

Angin senja berhembus lembut, semburat jingga diatas langit bagai lukisan perempuan kesepian. Kupastikan, aku tidak sedang benar-benar sepenuhnya membaca. Maka tergelak begitu saja ‘The Kite Runner’ dalam pangkuanku. Halamannya yang masih terbuka sedikit terkibas akibat terpaan angin.

Pada moment itulah ujung mataku menangkap seekor kupu-kupu cantik berwarna putih hinggap di daun jendela. Sempat menari-menari bagai ballerina dipucuk dedaunan hijau pepohonan yang tumbuh bersandar di samping kamarku. Aku tersenyum. Meskipun aku lelaki, toh aku tetap punya sense tersendiri untuk menikmati setiap keindahan. Aku suka putih, aku suka jingga, aku suka hijau. Dan aku suka kupu-kupu itu.

Sayap-sayapnya seperti menggodaku, memaksaku perlahan beranjak untuk menghampirinya. Bagaimanapun, aku tidak ingin membuatnya merasa terganggu.

Ups…! Dia bergerak manja. Terbang rendah mengepakan sayapnya yang seksi. Berputar mengelilingiku. Seolah ingin mengajakku bermain dalam setiap kepakannya. Seperti seorang instruktur penari balet dan aku begitu saja patuh dibuatnya. Kupu-kupu ini pasti betina. Batinku.

Selang beberapa saat kemudian, dia beranjak gemulai dan hinggap di salah satu dahan. Seperti memiliki kekuatan mistis, ada daya tarik tersendiri ketika aku menatapnya. Dan perlahan, semakin jauh. Hingga tak lagi nampak. Dia menghilang menuju danau bersama kabut senja. Menggantikan pemandangan lain yang tak kalah membuatku terpana.

:Seorang gadis yang kemarin sempat membuat Lau Wai penasaran tengah duduk manis di kursi kayu pendopo bersama laptop pinky-nya. Khusyu sekali. Samar, namun bisa kupastikan. Jemari mungilnya lincah bergumul diatas keyboard dan pandangannya focus ke arah layar monitor. Sesekali memejamkan mata. Lain menit memendarkan pandang. Kemudian kembali pada aktivitas sebelumnya.

Kalau kemarin aku tidak begitu peduli, maka hari ini sengaja kusisihkan waktu dan melupakan kegiatanku demi memperhatikan gadis itu. Setengah melirik, Lau Wai sepertinya sudah tenggelam dalam lelahnya. Begitu saja dia tertidur dalam posisi duduk dengan pensil yang masih berada dalam genggamannya. Aman. Pikirku.

Gadis itu masih disana. Lamat-lamat kutelanjangi dari balik jendela kamar di antara celah-celah pepohonan. Jarak tidak menghalangiku untuk tetap bisa memandangnya. Mencoba menerka, sepertinya dia bukan asli penduduk pribumi. Aku tahu itu.

Splasssh…

Hanya dalam satu kedipan, bayangan gadis yang kemarin hadir dalam mimpiku kembali muncul. Seperti potongan-potongan gambar yang mulai terbentuk. Memberi clue. Lalu memperlihatkan jawabannya. Menjelma gadis danau dan laptop pinky-nya. Membuatku seketika tanpa sadar bergumam; “Siapa dia? Apa hubungannya denganku?” Aku tertegun dan tenggelam dalam diam..

“Hey…ni zai kan ma?” Untuk yang kesekian kalinya. Seperti biasa. Tanpa kusadari Lau Wai sudah berada disampingku. Membuatku setengah terkesiap.

Sedikit melongokan kepala keluar jendela dan menyapukan pandangan. Dengan santainya dia menggelayutkan badan dan duduk diatas jendela. Menghadap ke danau lalu menghela nafas. Menghirup udara segar yang ditawarkan senja.

Aku sedikit menyingkir dan menjawab seadanya. “Mei yio kan sen me…”

Tapi mataku berkeliaran menuju ke arah danau. Gadis itu hilang. Dan pikiranku seketika jadi tidak karuan.

)oo(

Kalau saja Lau Wai tidak membangunkanku, mungkin hari ini aku akan terlambat mengikuti pelajaran. Dan sekali lagi kukatakan, aku beruntung bisa berteman dengan lelaki itu.

Tapi tetap saja waktu yang tersedia tidak cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya dengan cepat. Maka dengan ketergesa-gesaan yang kuciptakan, aku hanya sempat membasuh wajah dan meraih tas, lalu meluncur menuju kelas. Lau Wai sudah jauh di depanku.

Masih ada lima belas menit sebelum kuliah dimulai, dan Lau Shi belum juga menampakan batang hidungnya. Tumben dia datang terlambat. Biasanya, setengah jam sebelum kelas dimulai dia sudah duduk manis menunggu satu persatu muridnya datang. Seperti takut ada salah satu anak yang terlewatkan. Tapi aku yakin, dia tidak pernah bisa menghafal seluruh nama-nama kami. Ah! Tapi biarlah. Keterlambatannya, berarti memberiku kesempatan untuk lebih dulu bisa menikmati sarapan pagi.

Kantin terdekat berada tepat bersebelahan dengan kantor department. Itu berarti hanya memakan waktu tiga menit dari kelasku. Hanya satu menu yang cocok dengan lidahku. Lainnya, aku masih belum terbiasa.

Kugigit sepotong demi sepotong ‘san ming tze’ sambil berjalan kembali menuju kelas. Tapi sebuah suara yang kudengar dari kantor department memaksaku untuk menghentikan langkah. Aku sedikit merapat. Mencoba menguping. Sambil menyelesaikan gigitan terakhir.

“Can you give me the information about this University?” Tanya seorang gadis. Aku menangkap nada gugup dari suaranya.

Sementara yang ditanya diam sesaat. Lalu menimpali. “What do you want to know?”

“I’m from Indonesia. Can you tell me how the way that I can study at this university?”

Intonasi bahasa inggrisnya tidak terlalu bagus. Tapi aku bisa menangkap apa yang dia maksud. Dan yang lebih membuatku semakin penasaran adalah ketika dia menyebutkan nama negeriku. Indonesia. Ya, dia bilang ‘I’m from Indonesia’

Menunggunya keluar sebagai jawaban rasanya akan memakan waktu lama. Maka dengan langkah hati-hati, aku masuk juga ke ruangan itu.

Aku disuguhkan sebuah pemandangan punggung seorang gadis. Rambut hitam sebahunya membuatku tak bisa mencuri pandang langsung ke wajahnya. Sementara tepat dihadapannya lagi, karyawan kantor bermata sipit dan berambut pirang panjang bergelombang meyempatkan diri melirik ke arahku. Aku tersenyum.

“Pu hau i se….” kataku sopan. Memancing gadis yang ada dihadapanku membalikkan badan. Hanya sekilas. Karena sejurus kemudian dia kembali membelakangiku. Lalu terdiam.

“Ni yio sen me se ma?” Tanya karyawan kantor itu padaku, sembari tanggannya sibuk merapikan file-file yang beserakan diatas mejanya.

“Mei yio, ciu shi….ting suo, Tha shi ing ni ren ma?” dengan ekspresi mata, aku menunjuk gadis yang berada ditengah-tengah kami. Kutangkap dia sedang memain-mainkan jemarinya. Lugu.

Menyimpan file-file ke dalam laci dan menimpali.“Shi te. Ni ren sen Tha ma?”

“Mei yio. Khe shi, wo ye i ke ing ni te sie seng.” Aku tidak yakin gadis yang sedang membelakangiku itu mengerti. Tapi ketika aku menyebutkan kata ‘ing ni’, spontan dia membalikkan badan dan menatapku.

“Kamu orang Indonesia juga ya?” sebuah kebetulan yang barangkali tidak masuk nalar. Tapi ini benar terjadi. Aku bisa memandang wajahnya dengan jelas sekarang. Bisa melihat kedua tangannya yang sedang mendekap sebuah laptop mini model PC. Laptop mungil berwarna pinky. Semungil wajahnya yang masih mewarisi garis-garis ketimuran. Ah! Teka-teki itu terjawab sudah. Gadis danau yang kemarin kulihat dan yang selalu membayang-bayangi mimpiku kini ada di hadapanku. “gadis yang manis” batinku.

Selangkah menuju kearahnya. Mengulurkan tangan. “Panggil aku Yen Ting.”

“Khana” jawabnya seraya melukiskan senyum

“Apa yang sedang kamu lakukan disini?” tanyaku lagi, sambil mengajaknya keluar ruangan dan duduk di bangku kantin.

Lagi-lagi dia tersenyum sebelum menjawabnya. Ah…wanita…

“Aku sedang mencari informasi bagaimana caranya untuk masuk Universitas ini. Terangnya sedikit menggantung.

“Loh? Memang status kamu sekarang apa?” sengaja menelisik dan memancing dia untuk bicara. Aku lupa kalau jam kelasku sudah dimulai dari lima belas menit yang lalu.

Dia diam sesaat. “Mmm…aku…” jawabnya ragu.

“Aku TKW.” Tapi akhirnya dilanjutkan juga.

“Sekarang TKW, tapi kalau sudah finish kontrak nanti aku mau kuliah. Disini.” Belum lagi aku merangkai kata, dia sudah lebih dulu bicara. Jadilah aku terdiam dan menatap wajahnya. Khana…batinku.

“Dan itu sebabnya setiap senja kamu datang ke kampus ini?” tanyaku spontan.

Dia sedikit menaikan alisnya. Menatapku heran. “Dari mana kamu tahu?”

“Dua hari belakangan ini aku melihat kamu disekitar dorm. Kamu duduk sendirian di pendopo dekat danau. Apa yang kamu lakukan disana?” aku menyelesaikan kalimatku dalam satu tarikan nafas.

“Hanya sekedar melepas lelah. Sambil searching website kampus ini. Bosan aku terus dirumah. Aku punya waktu keluar hanya pada saat senja.” Dan aku semakin dibuatnya tambah penasaran.

“Dan sekarang?” tanyaku lagi.

“Pagi ini aku minta izin keluar sebentar untuk mencari informasi lebih jelas tentang Universitas ini dan jurusan yang akan aku ambil nanti. Sebelum pulang untuk mempersiapkan persyaratannya.” Perlahan. Aku mulai paham.

“Jurusan apa yang akan kamu ambil nanti?” kali ini nadaku merendah.

“Aku suka sastra. Aku suka menulis. Dan aku suka China. jadi aku akan ambil Sastra China. Biar kelak aku bisa menulis dengan menggunakan bahasanya.” Jawabnya berdiplomasi. Cerdas juga.

Dan pada saat dia menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara handphone berbunyi yang berasal dari gadis itu.

“Maaf…” sopan sekali cara dia bersikap. Lalu menekan tombol ‘yes’ dan mendekatkan benda berhala mungil itu di telinga.

“Shi te…Wo ma sang hue cia…” dengan sedikit tergesa-gesa dia berdiri dan mengambil laptop mungilnya. Kemudian mematikan ponselnya dan menyimpannya disaku jeans. Aku tahu dia akan segera pulang. Tapi hatiku tiba-tiba dilanda rasa lain. Tidak menginginkan dia pergi.

“Aku harus pulang. Bossku menyuruhku untuk mengantar papanya ke rumah sakit. Bye…” dan begitu saja dia berlalu menyusuri labirin-labirin hatiku. Menghilang ditelan dinding-dinding gedung kampus. Aku dibuatnya tertegun diam.

)oo(

Aku menyelinap masuk kelas ketika Lau Shi sedang tidak berada ditempat. Lau Wai yang terus mengintrogasiku dengan sederet pertanyaan sengaja tak kuhiraukan. Aku masih teringat Khana. Gadis danau itu. Dan hanya berharap bisa menyelesaikan pelajaran secepatnya. Lalu kembali ke dorm dan menunggu jam bergulir. Semoga dia datang senja ini.

Namun berbilang waktu. Harapku luruh terkoyak rindu. Khana tidak lagi menampakan diri disudut danau itu.

)oo(

Taiwan, 03 Mei 2010

“dalam sebuah pengharapan”

@danau cinta (National Tsing Hua University)

Recommend Write a ReviewReport

Share Tweet Pin Reddit
About The Author
Jennyervina
Jennyervina
About This Story
Audience
All
Posted
9 Jan, 2011
Genre
Type
Words
2,343
Read Time
11 mins
Rating
No reviews yet
Views
2,900

Please login or register to report this story.

More Stories

Please login or register to review this story.